www.narasiutama.id – Dalam perkembangan terbaru, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan tingkat inflasi tahunan untuk bulan Juni 2025 yang tercatat sebesar 1,87 persen. Ini menunjukkan adanya pengendalian harga yang cukup baik di tengah peningkatan beberapa komoditas pokok seperti beras dan barang kebutuhan rumah tangga.
Angka inflasi ini lebih rendah dibandingkan dengan inflasi pada Juni 2024 yang mencapai 2,51 persen, serta 3,52 persen pada Juni 2023. Hal ini menandakan bahwa meskipun ada peningkatan harga, tekanan inflasi tidak terlalu signifikan.
Pada tingkat provinsi, Papua Selatan menjadi wilayah dengan inflasi tertinggi, mencatat angka sebesar 3,00 persen. Sebaliknya, Sumatera Barat mencatatkan inflasi terendah, hanya 0,45 persen, sementara beberapa daerah seperti Papua Barat dan Bengkulu mengalami deflasi.
Analisis Inflasi dan Penyebabnya di Berbagai Wilayah
Inflasi yang terjadi di berbagai daerah memiliki variasi yang cukup signifikan. Inflasi tertinggi terjadi di Luwuk, Sulawesi Tengah dengan angka mencapai 4,00 persen. Ini menunjukkan adanya tekanan yang lebih kuat di beberapa kawasan tertentu, terutama di wilayah timur Indonesia.
Di sisi lain, Kota Tanjung Pinang mencatat inflasi terendah dengan hanya 0,07 persen. Keberagaman dalam angka inflasi ini menggambarkan adanya ketimpangan dalam distribusi barang dan pengendalian harga antara satu kawasan dengan lainnya.
Bersamaan dengan itu, inflasi bulanan untuk bulan Juni 2025 tercatat 0,19 persen dengan inflasi tahun kalender mencapai 1,38 persen. Komponen inti mengalami inflasi tahunan sebesar 2,37 persen, sementara inflasi bulanan untuk komponen ini sebesar 0,07 persen.
Dampak Kenaikan Harga terhadap Berbagai Kelompok Pengeluaran
Kenaikan harga yang terjadi di beberapa kelompok pengeluaran menjadi salah satu penyebab inflasi. Misalnya, perawatan pribadi dan jasa lainnya naik drastis hingga 9,30 persen, sementara untuk makanan dan minuman, serta tembakau, kenaikan mencapai 1,99 persen.
Pendidikan dan kesehatan juga mengalami kenaikan harga, masing-masing sebesar 1,82 dan 1,84 persen. Selain itu, layanan penyediaan makanan minuman di restoran tercatat naik sebesar 1,95 persen, sedangkan transportasi justru mengalami kenaikan tipis hanya 0,15 persen.
Kenaikan harga pada kelompok pengeluaran tersebut menjadi sinyal penting bagi pemangku kebijakan untuk memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi daya beli masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun inflasi terkendali, ada sejumlah kelompok yang tertekan oleh kenaikan harga komoditas.
Nilai Tukar Petani dan Implikasinya terhadap Ekonomi
BPS juga melaporkan bahwa Nilai Tukar Petani (NTP) nasional mengalami kenaikan sebesar 0,47 persen menjadi 121,72 pada Juni 2025. Kenaikan ini didorong oleh peningkatan dalam Indeks Harga yang Diterima Petani (It) yang lebih tinggi dibandingkan Indeks Harga yang Dibayar Petani (Ib).
Secara spesifik, Jawa Timur mencatatkan kenaikan NTP tertinggi, yaitu sebesar 2,75 persen. Ini menunjukkan adanya perbaikan dalam daya beli petani, yang merupakan hal positif untuk sektor pertanian.
Di sisi lain, Sulawesi Tenggara mengalami penurunan NTP terdalam sebesar 2,84 persen. Penurunan ini perlu dicermati lebih lanjut, mengingat dapat berdampak negatif terhadap kesejahteraan petani di wilayah tersebut.
Kenaikan Harga Beras dan Dampaknya terhadap Inflasi Pangan
Salah satu pendorong utama inflasi di bulan Juni 2025 adalah kenaikan harga beras. Dalam laporan BPS, tercatat bahwa harga beras premium mencapai Rp13.268 per kilogram, sementara beras medium di harga Rp12.869 per kilogram.
Menariknya, meskipun beras pecah memiliki volume yang kecil, harga jualnya melonjak tajam hingga 10,44 persen secara tahunan. Ini menjadi perhatian besar mengingat beras pecah merupakan jenis yang sering dikonsumsi oleh masyarakat kelas bawah.
Kenaikan harga beras yang merata di seluruh kategori menunjukkan adanya tekanan baik dalam sisi produksi maupun distribusi. Keadaan ini menjadi tantangan tersendiri, terutama di daerah-daerah yang mengandalkan beras sebagai komoditas utama mereka.
Pihak-Pihak yang Perlu Memperhatikan Stabilitas Inflasi
Meskipun laju inflasi nasional masih berada di zona aman, yaitu jauh di bawah ambang batas Bank Indonesia, disparitas inflasi yang terjadi di berbagai daerah menunjukkan adanya ketidakmerataan. Ini perlu diwaspadai, terutama di daerah timur seperti Papua Selatan dan Luwuk.
Pemerintah dan pelaku pasar diharapkan dapat menjaga pasokan pangan dan menstabilkan distribusi barang kebutuhan pokok. Perhatian lebih terhadap daerah dengan tekanan inflasi tinggi akan menjadi langkah strategis untuk meminimalkan dampak negatif yang mungkin timbul.
Komponen inti inflasi yang terjaga stabil tetap menjadi perhatian, namun trend kenaikan harga pokok yang semakin terlihat harus diantisipasi. Ini adalah tantangan yang harus diperhatikan agar inflasi tidak menjalar ke sektor-sektor lainnya dan menyebabkan ekspektasi inflasi yang lebih tinggi di paruh kedua tahun 2025.