www.narasiutama.id – Mi yang dicampur dengan nasi sudah menjadi pilihan menu yang umum di kalangan masyarakat Indonesia. Perpaduan ini tidak hanya memberikan rasa yang nikmat, tetapi juga dianggap dapat meningkatkan rasa kenyang. Namun, kebiasaan ini menyimpan risiko kesehatan, terutama jika dilakukan secara terus-menerus.
Pakar gizi, Rosyda Dianah, SKM, MKM, memperingatkan bahwa konsumsi mi dan nasi bersamaan dapat menyebabkan asupan energi yang berlebihan. Hal ini sering kali tidak diimbangi dengan zat gizi lain yang diperlukan tubuh, sehingga dapat mengganggu kesehatan jangka panjang.
“Sekali-sekali tidak masalah, tetapi jika terlalu sering, dapat memicu gangguan pada metabolisme tubuh,” jelasnya. Terdapat alasan ilmiah di balik pernyataannya yang menyangkut keseimbangan gizi dalam pola makan sehari-hari.
Bahaya Kesehatan Akibat Kebiasaan Makan Mi dan Nasi Bersamaan
Rosyda memberikan contoh konkret dari porsi yang sering dikonsumsi. Misalnya, satu porsi yang terdiri dari 150 gram nasi dan 100 gram mi dapat mengandung sekitar 401 kilokalori energi. Dari jumlah tersebut, jumlah karbohidrat sangat mendominasi dengan total sekitar 82 gram, sedangkan protein hanya mencapai 7 gram dan lemak 2 gram.
Dominasi karbohidrat ini tentunya jauh dari rekomendasi gizi yang sehat. Pedoman gizi seimbang menyarankan setengah piring terdiri dari sayuran dan buah-buahan, sedangkan setengah bagian lainnya dibagi antara karbohidrat dan protein.
Kondisi ketidakseimbangan ini berpotensi menimbulkan berbagai masalah kesehatan yang serius. Kelebihan karbohidrat sederhana, seperti yang terdapat dalam nasi putih dan mi instan, dapat meningkatkan indeks glikemik, yang berakibat langsung pada lonjakan gula darah dalam tubuh.
Panduan Makanan Seimbang untuk Kesehatan yang Lebih Baik
Jika pola makan ini berlangsung lama, risiko terhadap kondisi kesehatan seperti obesitas, resistensi insulin, dislipidemia, hingga peradangan kronis semakin meningkat. Ini adalah masalah yang tidak dapat diabaikan, terutama di era di mana gaya hidup tidak aktif semakin meluas.
Lebih lanjut, masalah ini tidak hanya berhenti pada peningkatan berat badan. Kekurangan protein dan lemak sehat juga menyebabkan penurunan produksi hormon yang mengatur nafsu makan. Hormon-hormon seperti leptin dan peptida YY menjadi penting dalam menjaga rasa kenyang setelah makan.
“Kenyang memang, tetapi rasa lapar bisa muncul dengan cepat, memicu perilaku makan berlebihan,” ungkap Rosyda. Oleh karena itu, penyesuaian dalam pola diet menjadi sangat penting untuk menghindari masalah kesehatan lebih lanjut.
Strategi Mengatur Pola Makan yang Lebih Sehat
Rosyda mendorong masyarakat untuk mulai mengatur pola makan sehari-hari dengan lebih bijak. Pengurangan porsi karbohidrat adalah langkah awal yang dapat diambil jika ingin menyajikan nasi bersama lauk. Nasi dalam porsi setengah disarankan untuk dikombinasikan dengan lauk hewani atau nabati, serta sayuran yang kaya akan nutrisi.
Alternatif lain yang layak dicoba adalah mengganti nasi dengan ubi rebus yang kaya akan serat. Ubi ini bisa dipadukan dengan telur atau kacang-kacangan, memberikan nutrisi yang lebih seimbang bagi tubuh.
Bagi yang tetap ingin menikmati mi, terdapat pilihan yang lebih sehat seperti mi shirataki, yang rendah karbohidrat. Mi ini dapat menjadi alternatif asalkan dipadukan dengan sumber protein dan sayuran yang cukup.
Pentingnya Menjaga Keseimbangan Gizi dalam Setiap Porsi Makanan
“Prinsip terpenting adalah membangun keseimbangan dalam penyajian makanan,” tegas Rosyda. Karbohidrat tidak boleh mengambil porsi mayoritas dalam piring makan. Penting untuk memastikan bahwa cukup telah tersedia protein, lemak sehat, serta serat dari sayuran dan buah-buahan.
Dengan cara ini, tubuh tidak hanya akan merasa kenyang, tetapi juga mendapatkan asupan gizi yang seimbang. Ketika nutrisi yang dibutuhkan tubuh sudah terpenuhi, maka kemungkinan munculnya masalah kesehatan pun dapat diminimalisir.
Menjaga pola makan yang sehat memang bukan lah hal yang mudah, khususnya dalam masyarakat yang sudah terbiasa dengan makanan tertentu. Namun, dengan kesadaran dan pengetahuan, setiap individu bisa membuat pilihan yang lebih baik demi kesehatan jangka panjang.