www.narasiutama.id – Nilai tukar rupiah menghadapi tantangan besar di akhir pekan ini ketika kembali melemah terhadap dolar Amerika Serikat. Penutupan pada Jumat menunjukkan angka yang tidak menggembirakan, menandakan pergeseran yang perlu dicermati lebih dalam oleh para pelaku pasar.
Data yang dihimpun menunjukkan bahwa rupiah ditutup pada posisi Rp16.485 per dolar AS, mengalami penurunan sebesar 0,21%. Ini berarti rupiah mencapai titik terendah sejak Mei 2025, suatu kondisi yang mencerminkan dinamika yang kurang menguntungkan di pasar valuta asing.
Pada sesi perdagangan yang lebih awal, rupiah bahkan mencapai titik terendah Rp16.505 per dolar AS sebelum akhirnya sedikit pulih menjelang penutupan. Fenomena ini menunjukkan adanya volatilitas yang bisa menjadi indikator tekanan yang lebih mendalam terhadap mata uang nasional.
Dampak Indeks Dolar Terhadap Nilai Tukar Rupiah
Di sisi lain, indeks dolar AS (DXY) tercatat mengalami penguatan tipis, yang mencapai 100,04 per pukul 16.00 WITA. Tren positif ini menunjukkan ekspektasi pasar terhadap mata uang AS yang terus meningkat dalam waktu enam hari berturut-turut.
Penguatan dolar AS ini bukan hanya berdampak pada rupiah, tetapi juga mencerminkan meningkatnya permintaan global terhadap mata uang tersebut. Situasi ini tentunya memberikan tekanan lebih besar bagi negara-negara dengan mata uang yang tidak stabil, termasuk Indonesia.
Faktor-faktor eksternal ini semakin memperparah situasi internal yang dihadapi oleh rupiah. Sejumlah rilis data domestik juga turut memberi dampak negatif yang signifikan untuk pergerakan nilai tukar mata uang Indonesia.
Data Domestik Berpengaruh Terhadap Pergerakan Rupiah
Salah satu data yang berkontribusi terhadap kondisi ini adalah laporan Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur Indonesia. Dari data S&P Global yang dirilis, PMI berada di angka 49,2 pada Juli 2025, di bawah ambang batas netral yang menunjukkan adanya kontraksi dalam sektor industri.
Ini menandakan bahwa aktivitas industri Indonesia mengalami penurunan untuk bulan kedua berturut-turut. Kontraksi yang terjadi dalam sektor manufaktur mencerminkan tantangan yang harus dihadapi oleh perekonomian domestik saat ini.
Tidak hanya PMI, data inflasi juga memberikan gambaran yang kurang menggembirakan. Badan Pusat Statistik melaporkan inflasi bulanan mencapai 0,30% pada Juli 2025, sedangkan inflasi tahunan berada di angka 2,37%, menunjukkan ancaman inflasi yang perlu diwaspadai.
Ancaman Inflasi Terhadap Stabilitas Ekonomi
Kelompok makanan, minuman, dan tembakau berkontribusi cukup signifikan terhadap inflasi, di mana kenaikan mencapai 0,74% dan memiliki andil 0,22% dalam angka inflasi keseluruhan. Angka inflasi ini mencerminkan kondisi pasar yang cukup bergejolak dan bisa memengaruhi daya beli masyarakat.
Komoditas beras menjadi salah satu penyumbang utama bagi inflasi, dengan kontribusi sebesar 0,06%. Hal ini menunjukkan bahwa beberapa elemen fundamental dalam ekonomi masih menjadi tantangan besar yang harus diatasi untuk menjaga stabilitas mata uang rupiah.
Meski banyak faktor yang memberikan tekanan, ada sisi positif dari neraca perdagangan Indonesia yang menunjukkan surplus. Badan Pusat Statistik mencatat surplus perdagangan sebesar US$4,1 miliar pada Juni 2025, suatu angka yang menunjukkan performa baik di sisi perdagangan internasional.
Pandangan Analis Terhadap Masa Depan Rupiah
Surplus ini menandai keberhasilan Indonesia dalam menjaga posisinya dalam pasar global, berlangsung selama 62 bulan berturut-turut sejak Mei 2020. Ini menambah harapan bahwa perekonomian Indonesia memiliki fondasi yang cukup kuat meskipun menghadapi berbagai tantangan.
Deputi Statistik BPS, Pudji Ismartini, menekankan bahwa surplus neraca perdagangan ini memperkuat tren positif yang telah muncul dalam lima tahun terakhir. Namun, tekanan dari aspek lain, seperti inflasi dan kontraksi di sektor manufaktur, tetap menjadi perhatian yang serius.
Analis memperkirakan bahwa tekanan terhadap rupiah akan terus berlanjut dalam waktu dekat. Sejumlah sentimen negatif dari dalam negeri dan penguatan dolar AS secara umum diperkirakan berkontribusi pada ketidakpastian yang masih akan terjadi di pasar valuta asing.